Kamis, 24 Januari 2019

DALAM BAYANGAN TUHAN : PENTAS PRODUKSI SASTRA INDONESIA UGM TAHUN 2018

Selamat  menyaksikan!
Tirai terbuka perlahan, lampu mulai menerangi panggung, musik mulai mengiringi, dan aktor telah mengucapkan kata pertama dari sebuah naskah yang dipentaskan. Saya akan memusatkan pandangan, pendengaran, dan pikiran ke arah panggung pertunjukkan.
Yang pertama kulihat adalah pertunjukkan, semua aktor memainkan pola gerak, intonasi suara, dan pengekspresian wajah sesuai apa yang mereka latih. Terpampang pula suguhan visual setting panggung sesuai dengan penyutradaraan. Ya, saya akan menantikan suguhan yang menarik dan menghibur tentunya, sesuai dengan ekspektasi penonton, ekspektasi saya.
Yang pertama kudengar adalah pertunjukkan, pemusik akan menguasai alat yang dipegangnya dan menghasilkan gelombang suara yang berirama untuk mendukung penonton memasuki emosi dan suasana yang ingin dibangun dalam pertunjukkan, atau malah sekadar menjadi tempelan.
Yang pertama kurasakan adalah pertunjukkan.
***
Taman Budaya Yogyakarta menjadi saksi diselenggarakannya sebuah pementasan teater tahunan dari mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UGM : Teater Kami Bercerita. Naskah yang cukup fenomenal dari Arifin C. Noer dipilih untuk pementasan tahun ini. Sebuah naskah yang perlu dibaca berulang-ulang untuk dapat dipahami, naskah yang serius, dan sarat satir. Akan tetapi, Teater Kami Bercerita membawakan sisi lain dalam menginterpretasikan naskah menjadi sebuah pementasan. Sebuah interpretasi yang unik. Naskah yang dibawakan dalam pertunjukkan yang dihelat pada Sabtu, 10 November 2018 ini adalah “Dalam Bayangan Tuhan”, sebuah naskah yang sarat akan kritik pemerintahan orde baru. Saya tidak menyangka bahwa naskah tersebut akan dibawakan secara karikatural oleh Teater Kami Bercerita, sebuah kelompok teater dari program studi Bahasa dan Sastra Indonesia UGM. Dalam pementasan teater yang disutradarai oleh Khairani Fitri Kananda, salah seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UGM angkatan 2016, dipenuhi dengan aksi-aksi karikatural. Maksud dari aksi karikatural ini divisualisasikan oleh bentuk-bentuk blocking para aktor yang memanjakan mata, setting properti yang dinamis, dan musik yang pas di telinga. Kesan saya selama menonton pertunjukkan ini hanya satu: sangat memanjakan indera. Dari sudut penonton, pementasan ini tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada sepasang mata kita untuk berpaling dari panggung. Rona warna yang tergambar dalam tata rias, kostum, serta latar panggung benar-benar dinamis dan pas.
Screenshot_3
Hal yang paling berkesan dari semua unsur pementasan ini bagi saya adalah bentuk. Konsep penggarapan sutradara yang karikatural berhasil tervisualisasikan dalam bentuk-bentuk gerakan para aktor yang semakin didukung oleh tata rias, kostum, dan setting panggung. Permainan warna yang disajikan ranum untuk dinikmati mata. Blocking dan moving para aktor beberapa kali memaksa mulut untuk mengucapkan ujaran takjub. Beberapa bumbu jenaka yang disajikan sangat berhasil menggelakkan penonton. Sangat renyah untuk dipahami dibandingkan dengan hanya membaca naskah.
Musik yang dimainkan untuk mengiringi permainan aktor juga sangat berdinamika, meskipun ada beberapa kesalahan teknis. Dibuka dengan alunan musik ceria yang memancing perhatian penonton, saya langsung menangkap bahwa cara pembawaan pentas ini pasti akan menarik. Menurut saya, ada beberapa kelompok teater yang memainkan musik tidak cocok dengan peristiwa yang sedang dimainkan di atas panggung. Akan tetapi, dalam pementasan ini ilustrasi musiknya sangat pas : tidak terlalu kosong atau berlebihan. Musik yang ramai, dalam artian menonjolkan skill bermain, kadang kala tidak pas dengan peristiwa atau adegan yang dimainkan aktor. Begitu pula dengan musik yang sederhana, dengan pola yang itu-itu saja, juga pasti akan membuat bosan penonton. Ilustrasi musik pada pementasan teater yang baik adalah yang pas dan sesuai dengan nuansa adegan. Dinamika para pemusik dalam pementasan ini dapat dirasakan dengan perubahan aransemen pada lagu tema drama ini dan repetisi beberapa lagu. Menarik.
Tata cahaya pementasan ini juga sempat membuat kekaguman dalam diri saya muncul, terutama permainan lampion. Permainan lampion membuat panggung tidak menjadi kosong dan sangat enak untuk dipandangi. Beberapa momen adegan pun ada yang berhasil mengena di hati saya berkat permainan tata cahaya pementasan tersebut. Contohnya adalah ketika adegan Sandek dan Direktur Utama sedang makan siang di kantor Direktur Utama dan bagian akhir cerita ketika Sandek berada di tengah panggung, di kelilingi para aktor lain. Sangat pas. Akan tetapi, permainan lampu dalam pementasan ini tidak sedinamis dibandingkan unsur pementasan lainnya.
Meskipun pementasan ini secara keseluruhan cukup baik, namun terdapat beberapa kekurangan. Terutama permasalahan keaktoran : artikulasi dan emosi. Menurut saya, selama pementasan berlangsung kurang ada satu adegan yang memuncak dan menguras emosi. Sebetulnya, ada beberapa adegan yang berpotensi seperti itu. Misalnya, adegan ketika Sandek lumpuh dan bisu kemudian tiba-tiba ia bisa berdiri dan berbicara. Selain itu, bagian Sandek berbicara ketika ditahan oleh Polisi dan menanggapi omongan tetangga, dan beberapa adegan Sandek dengan Oni. Menurut saya beberapa adegan tersebut kurang memainkan emosi penonton secara maksimal. Ada satu hal lagi, pada bagian akhir cerita ketika sudah memasuki permainan senter, ada sedikit kesalahan teknis. Hal itu cukup mengganggu karena ada salah satu senter yang menyala. Tetapi, secara keseluruhan, pementasan “Dalam Bayangan Tuhan” cukup baik, menghibur, dan memanjakan indera. Karikatural berhasil divisualisasikan sehingga interpretasi penonton mengenai naskah tersebut bisa bertambah luas.

Saya Aditya Wicaksono. Salam Budaya!
Foto : Dokumentasi Bulan Bahasa UGM 2018 dan Aric Surya Lesmana
IMG_1315 (1)IMG_1418IMG_1428IMG_1433IMG_1480IMG_1592P1260441 (1)P1260553 (1)P1260562P1260589 (1)

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar