Senin, 24 Februari 2014

Terawang

Pagi pagi di rumah Bangka

Pagi pagi sudah diujung penantian

Pagi pagi aku pun tak tau harus pilih yang mana

Pagi pagi aku tak bermaksud ingin disanjung

Pagi pagi aku hanya ingin aku

Pagi pagi perasaan ini

Pagi pagi semua orang

Pagi pagi bayangan

Pagi pagi aku minta

Pagi pagi petunjuk-Nya

Pagi pagi ketenangan emosi dan batin

Pagi pagi tanpa pikir berlebih

Pagi pagi perasaan itu

Pagi pagi semakin kuat

Pagi pagi semakin dekat

Pagi pagi menjelang Siang siang

Siang ku daku harapkan sempurna


#SMADA, 24 Feb 2014#

Sabtu, 15 Februari 2014

Gagak Berbulu Putih

" Janji adalah janji. Pikirkan sebelum berjanji "

 
 Suatu kala, di negeri antah berantah, hiduplah sepasang gagak yang saling mengasihi. Berlindung di bawah rindangnya pohon pinus. Gagak jantan yang gagah, raja dari negeri itu. Gagak betina yang gemulai, tengah mengandung buah cinta mereka berdua.

               
Tibalah suatu ketika, ketika Gagak betina tersebut bertelur, hanya sebutir. Kemudian dierami lah telur tersebut hingga menetas. Tak lama kemudian lahirlah ke dunia anak semata wayang kedua pasangan ini.


Hari demi hari, waktu demi waktu kebahagiaan masih menyelimuti keluarga kecil ini, Sang Raja sangat bangga pada anaknya yang digadang-gadang bakal meneruskan tahta kerajaannya. Sang ratu juga tersenyum simpul melihat semangat berkobar dari suaminya yang begitu membanggakan bayi lelakinya itu. “ Anak ini akan menjadi gagak yang gagah melebihi daku “ ucap Sang Raja.


Akan tetapi, satu bulan setelah anak gagak itu lahir, nampak keganjalan terjadi pada anak gagak tersebut. Bulu yang tumbuh di badanya bukan hitam, melainkan putih. Ya aneh, ada seekor Gagak berbulu putih. Berbagai cercaan,hinaan muncul dari gagak-gagak lain di negeri tersebut. Sang Raja nampak sedih bahkan malu dengan anak semata wayangnya itu. Ia tak menutupi kesedihannya,  “ kenapa anakku berbeda dengan burung gagak yang lain?” tanya Sang Raja kepada Langit. Kemudian terutuslah seekor merpati putih menyampaikan sepucuk surat dari Langit. “ Anak ini istimewa, rawatlah dia. Didiklah dia.” Begitu isinya.


Dengan berbesar hati, Sang Raja merawat putranya yang “ cacat ” itu. dengan kasih sayang.


2 tahun kemudian...
Sang gagak putih dengan gagahnya tumbuh menjadi remaja yang penuh wibawa. Ayahnya sangat bangga kepadanya, padahal dahulunya ia khawatir akan masa depan anaknya. Sang anak di didik menjadi pemimpin yang bijaksana dan disiplin, berteguh pada janji. Ia sangat mengharapkan kelak anaknya dapat meneruskan kepemimpinannya menjadi raja.

“ Menjadi seorang raja, janji adalah harga mati “ katanya penuh wibawa pada anaknya.

Tiba pada suatu masa, negeri tersebut mengalami gejolak. Kekeringan melanda negeri tersebut. Perubahan keadaan secara drastis membuat gejolak di negeri tersebut menjadi kuat. Konflik terjadi dimana-mana. Sang Raja tak kuasa melerai keadaan. Ada pula rakyatnya yang meminta agar ia mundur dari jabatanya. Suasana semakin menjadi tak kondusif, akhirnya Sang Raja turun tahta, kemudian ia menyerahkan tahtanya kepada anak semata wayangnya, Gagak berbulu putih itu. 


Sebulan setelah Gagak putih diangkat menjadi raja, suasana kerajaan lambat laun mulai membaik. Dengan kecerdasannya, ia membuat sebuah tanggul untuk mengatur pengairan di kerajaan tersebut. Kerajaan sudah tak kering lagi, banyak rakyat yang senang dengan kepemimpinannya. “ Pemimpin harus sigap, cepat dan tepat menyelesaikan sebuah masalah “ ujar Sang Raja yang kemudian disambut tepuk derai para rakyatnya.



1 tahun kemudian..

Apa pelajaran yang ayahnya berikan padanya, ia terapkan pada kepemimpinannya. Dengan kecerdasan yang ia miliki membuat kerajaan mengalami kemajuan, dan mengalami puncak kejayaan. Kemiskinan sudah berkurang, kejahatan jarang terjadi, negeri tersebut menjadi makmur. Akan tetapi Sang Raja tidak terlena, ia tetap siaga dalam menjalankan kepemimpinannya.

Suatu hari, Raja mengutus para prajurit untuk menambang emas di sebuah bukit. Dengan kecerdasannyalah, ia mengetahui tempat-tempat mana yang mengandung emas, tak banyak gagak yang dapat mengetahui sumber emas tersebut. Sebelum prajurit berangkat menambang emas, Ia mengeluarkan sebuah titah. “ Emas ini untuk keberlangsungan rakyat, Barang siapa yang berani mengambil “ secuil ” emas itu, saya akan membunuhnya”. Semua pihak kerajaan tunduk pada titah raja.

Emas sudah terkumpul, hingga bergunung-gunung, akan tetapi muncul rencana dari ayah Sang Raja, ia sangat menginginkan emas tersebut yang sangat menggoda. Ia pun ingat dengan titah anaknya. Ia sempat berpikir “ Dia anakku, mana mungkin ia tega membunuhku jika aku ambil secuil emas itu “. Kemudian ia mengendap-endap mengambil emas tersebut, akan tetapi seorang pengawal mengetahui perbuatan Ayah Raja, dan melaporkannya kepada Sang Raja.


Dengan terkejut Sang Raja mengetahui apa yang ayahnya lakukan. Ia kemudian menemui ayahnya dan meminta kebenaran atas peristiwa tersebut. Sang Ayah yang awalnya menampik, kemudian mengakui bahwa ia telah mencuri emas. Tetesan air mata menetes dari mata Sang Raja. “ Maafkan Ayah, Baginda. Ayah khilaf, Ayah hanya tergoda “. Keheningan menyelimuti kejadian itu, kemudian muncul sepatah kata dari Sang Raja, sebuah titah. “ Besok pagi hari, kumpulkan rakyatku di istana “. Kemudian Sang Raja pergi. “ Apakah kau mau mengampuniku Baginda? “ Teriak Sang Ayah. Sang Raja berhenti dan berbalik “ Iya “. Ucap Sang Raja.


Tibalah suatu pagi, rakyat telah berkumpul di depan istana dan masih bertanya-tanya apa maksud mereka dikumpulkan. Sang Raja muncul dan menyampaikan sesuatu. “ Aku hanya mengabdi untuk rakyatku “. Hening, ragu, entah. Keluarga kerajaan yang berada di samping Sang Raja tak mengetahui apa yang beliau pikirkan. Akan tetapi, dengan cepat Sang Raja mengambil sebuah pedang dari salah seorang prajurit, kemudian ia tebaskan ke leher Ayahnya. “ Brekkk.. “ tubuh Sang Ayah tergeletak dengan kepala terpisah. Seluruh gagak terkejut melihatnya, Air mata deras mengalir di mata Sang Raja. Ibu Sang Raja berkata “ Apa yang kamu lakukan, kamu membunuh ayahmu.!!! “. “ Janji ialah janji “ ucap Sang Raja.


Pengorbanan yang besar. Sang Ayah yang dengan telaten menanamkan sikap kepemimpinan kepada anaknya, mendidiknya, mengajarinya, mengasihinya dengan kasih sayang tulus, menerima apa adanya “ cacat “ anaknya terbayar dengan tebasan pedang oleh Sang Anak. Hidup memang tak adil,  akan tetapi janji ialah janji.